Majalah Kerohanian Kaum Awam
 
Picture
    Yesus telah babak belur dan memperlihatkan kengerian. Wajah-Nya tak lagi bersih. Banyak luka yang menganga.     Aku berjalan tak jauh dari-Nya. Ia memikul salib. Jari-jari-Nya yang kotor oleh debu bercampur darah yang mengering, menggenggam erat kayu salib dan terlihat gemetar.
    Napas-Nya tak beraturan. Terdengar juga erangan-erangan kecil dari mulut-Nya. Ia menggigit bibir-Nya dan aku tahu Ia sedang menahan rasa sakit. Tiba-tiba saja sebuah pukulan mengenai wajah-Nya. Ia terjengkang dan sempoyongan menahan pukulan sekaligus menjaga keseimbangan agar tak jatuh tertimpa salib yang dibawa-Nya.
    Darah mulai mengalir lagi dari luka di wajah-Nya. Dalam usaha-Nya menjaga keseimbangan, sebuah gagang tombak didorongkan dengan keras pada perut-Nya.
    Aku bisa mendengar sebuah rintihan yang tertahan. Aku pusing. Pening.
    ”Hei, Rudolfus. Apa kau hanya ingin diam saja di situ dan tak mau ambil bagian?” suara seorang serdadu di sebelahku.
    Aku kaget dan lebih kaget lagi ketika aku mendapati diriku berpakaian serdadu Romawi, sama seperti serdadu yang menegurku.
    Sebuah kesadaran yang memalukan: aku adalah bagian dari mereka yang menyiksa-Nya!
    ”Hei! Kenapa masih diam? Jangan-jangan kau pengikut Dia!” kata serdadu itu terlihat kesal.
    Ya, aku memang sedang bimbang. Sebuah cambuk ada di genggamanku. Semua serdadu menatap ke arahku. Aku mengangkat cambuk yang ujungnya disimpul dengan potongan-potongan besi tajam.
    Aku melihat ke arah Yesus. Ia hanya menatapku dengan mata-Nya yang telah sipit karena bengkak. Tatapan itu begitu tajam.
    Tanpa kusadari, tanganku bergerak dan melepaskan cambuk ke tubuh-Nya. Ia berteriak kesakitan. Cambuk itu mengoyakkan kulit dan daging di tubuh-Nya.
    Kulihat air mata menetes dari mata-Nya yang terlihat merah karena bercampur darah dari luka di bawah mata-Nya.
    Aku lemas setelah sadar atas perbuatanku.
    Cambuk terlepas dari tanganku. Kemudian aku berlari ke sebuah lorong yang sunyi. Kepergianku itu diikuti tatapan semua orang yang berkumpul di situ. Setelah sendirian, aku menangis.
    Kutanggalkan pakaianku dan aku berteriak sekuat tenaga, “Tuhan, maafkan aku yang telah ikut menyiksa-Mu! Ampuni aku!”

Ditulis oleh: Rudolf Dayu MSC
Dimuat di Majalah UTUSAN No. 04 Tahun Ke-61, April 2011